Tidak ada terlalu cepat.
Tidak ada yang terlambat.
Semua tepat pada waktunya.
Hanya saja kita harus sabar menunggu.
Rencana Tuhan indah bukan? J
Hari
ini hari pertamaku untuk mengikuti ekskul teater. Ya tepatnya karena aku siswa baru
di SMA ini. Aku pindah ke sekolah ini karena ayahku dipindah tugaskan. Aku
hanya berjalan menyusuri lorong-lorong sekolah. Kata teman sekelasku ruang
teater berada diujung lorong gedung bagian timur.
“Mungkin ini” Gumamku
dalam hati.
Setelah
aku membuka pintunya ternyata Pembina teater sudah berada di ruang itu. Dan aku
terlambat 1 menit.
“Permisi Bu. Maaf saya terlambat.”
“Kamu anak baru ya?”
“Iya Bu. Apa saya dapat hukuman?”
“Sudah tidak apa-apa,. Mungkin tadi
kamu bingung mencari ruangan ini kan? Selamat bergabung ya. Siapa namamu?”
“Terimakaih Bu. Saya Shaqilla
Thalitharia Agnessia Putri.”
“Oke. Perhatian semuanya. Sebelum
dimulai latihan hari ini. Kita berdo’a dulu. Ber’doa mulai ----. Berdo’a
selesai. Sebelumnya, ini ada anggota baru, namanya Agnessia Putri. Ibu harap
kalian bisa berteman baik dengan dia. Kalian bisa latihan dulu. Ibu mau mencari
karakter untuk Agnes.”
“Baikk bu”
Selesai
memperkenalkanku pada anggota teater, bu Sita melatihku untuk menemukan
karakter yang cocok untukku. Dan ternyata aku cocok menjadi protagonis. Aku
berlatih dan terus berlatih. Namun ternyata pada hari ini belum ada latihan
yang sesungguhnya. Melainkan baru mencari-cari karakter untuk pentas 5 bulan
lagi. Begitu kata bu Sita.
Ternyata
ada temanku satu kelas yang juga mengikuti ektrakulikuler tearter ini. Rachel.
Aku menghampirinya karena semua orang terlihat asing bagiku.
“Rachel?”
“Eh, Shaq. Maaf gue nggak tau kalau
lo ikut teater juga. Tau gitu tadi bareng, lo pasti bingungkan cari ruangan teater.” Terang
Rachel
“Enggak papa Hel. Iya sih agak
bingung. Gue harap lo bisa bantu gue ya disini.”
“Iya. Pasti. Kalau gitu ayo gue
kenalin lo sama temen-temen yang lain.”
“Okee. Makasih. Mari.”
Satu
per satu anggota klub teater mulai kukenal. Semuanya ramah. Tetapi ada satu
anggota klub yang menurutku sedikit kurang bersahabat. Namanya Alno.
“No, kenalin Shaq.”
“Katanya bu Sita tadi Agnes. Kok
sekarang Shaq. Aneh.” Begitu kata Alno dengan ketusnya
“Namaku Shaqila Thalitharia Agnesia
Putri. Mungkin yang mudah diingat bu Sita Agnesnya.” Terangku
panjang lebar
“Ohh. Sayangnya namamu bagiku nggak
penting. Yaudah eh gue Alno.”
“Maaf gue males buat debat. Senang
berkenalan denganmu.” Kataku sembari meninggalkan Alno.
Rachelpun tidak berkata apa-apa.
Setelah
menjauh dari letak Alno, Rachel menjelaskan bahwasanya Alno tidak biasanya
bertingkah seperti itu. Biasanya di nyambung dengan yang lainnya. Mungkin dia
sedang ada masalah. Bisa jadi Rachel menyuruhku untuk tidak terlalu memasukkan
kata-kata Alno tadi.
~~~
Hari
pertama disekolah baruku begitu menyenangkan. Tanpa ada bullying atau apapun. Semua temanku ramah dan asyik. Terkecuali,
Alno. Ah biarkan saja. Dia hanya teman satu klub yang akupun tak tahu dia
sebagai apa.
“Malem Shaqila. Gimana tadi
sekolahnya?” Sapa manis kakakku. Kak Rhein
“Malem Kak. Asyik kok kak. Temenku
baik-baik. Cuman satu yang agak ketus. Tapi untungnya nggak satu kelas.” Jelasku
pada Kak Rhein
“Loh, udah kenal juga sama yang beda
kelas?”
“Beberapa sih Kak. Tadi kan udah
masuk ekstakulikuler. Terus sama temen sekelasku dikenalin sama seluruh anggota
klub.”
“Ohh gitu. Ya semoga kamu betah
gitu aja sih. Sama andai kata dia ketus lagi nggak usah dibawa hati.”
“Okeesip Kakak.”
“Yaudah kakak tinggal dulu.”
~~~
Hari demi hari
terlewati. Aku mulai bersahabat dengan sekolah ini. Begitupun aku semakin
bersahabat dengan Rachel. Minggu ini agenda klub teater adalah pembagian
pemeran, begitu kata Rachel.
“Shaq
nanti ke ruang teater bareng gue aja. Hari ini keknya bakal ada pembagian
pemeran.”
“Oke
deh. Karaktermu apa Hel?”
“Gue
sih protagonist bisa antagonis juga bisa. Tinggal nanti dapet bagiannya apa.
Kalo kata bu Sita, wajah gue bisa didandanin jadi protagaonis ataupun
antagonis.”
“Wah,
multitalent donk.”
“Syukur
deh. Kalo lo?”
“Gue?
Kemaren sih katanya bu Sita gue cocokan jadi protagonis.”
“Iyalah
lo kan orangnya polos.”
“Yee
apaan sih Hel.”
Percakapankupun
berhenti sesaat setelah guru mapel biologi masuk ke kelas. Kelas menjadi
hening, dan semua siswa memperhatikan pennjelasan guru dengan seksama. Ya
mungkin karena materi yang disampaikan rumayan berat. Hehehe.
Bel tanda pelajaran
selesaipun berdering. Beberapa siswa ada yang langsung pulang. Tapi tidak
denganku. Seperti yang kubicarakan dengan Rachel tadi tentang klub teaterku.
“Ayo
Shaq.” Ajak Rachel
“Iya
Hel. Bye the way sesering apa sih klub teater ngadain pertunjukan?” Tanyaku
ke Rachel
“Kalo
yang wajib itu pas persembahan perpisahan kakak kelas Shaq. Kalo yang lainnya
sih kayak pas pensi akhir semester, ulang tahun sekolah, terus kalau ada tamu
ke sekolah sama kadang ada perlombaan teater tingkat SMA sederajat.” Terang
Rachel
“Ohh
gitu. Banyak juga ya.”
“Iya
Shaq. Siap-siap aja sering dapet kabar buat latihan mendadak.”
“Oke
deh.”
Sesampainya di Ruang
Teater ternyata sudah banyak siswa lain yang ada disana. Yaa mungkin waktu
untuk turun ke lantai satu agak lama. Tak lama kemudian bu Sita datang.
“Selamat
sore semua.”
“Sore
Bu.” Jawab kami serempak
“Alno
saya minta absennya.”
“Ini
Bu. Semua sudah datang.”
“Bagus,
kalau begitu sebelum memulai latihan sore ini, kita berdo’a dulu. Do’a mulai
---- Do’a selesai.”
“Hari
ini kita akan bahas untuk acara perpisahan kakak kelas kalian. Kita dapat
durasi 25 menit untuk tampil. Untuk waktu dan tempat pelaksanaannya nanti
nyusul. Menurut ibu, kita akan ambil Drama Keong mas tetapi dalam bahasa
Inggris. Dan ibu akan memberikan kesempatan kepada Shaq, untuk menjadi pemeran
utama dalam pementasan kali ini. Bagaimana Shaq kamu bersedia?” Begitu
penjelasan dari bu Sita. Suatu kepercayaan dan tanggung jawab besar yan
diberikan kepadaku.
“Berjalan
aja bu. Saya akan berlatih sebiasa saya. Andai memang bagus saya bersedia.
Tetapi andai ada yang lebih cocok saya juga tidak apa-apa jika harus
tergantikan.”
“Baik,
kalau begitu pasangan main kamu adalah Alno. Kamu sudah kenal kan dengan dia?”
“Alno
bu? Iya bu, sudah.”
Setengah kaget, gimana
bisa aku bekerja sama dengan orang yang super jutek seperti Alno. Tapi aku
harus bertindak professional. Aku harus menunjukkan kemampuanku dengan baik.
Aku tidak boleh membuat kecewa dan hanya mengulur waktu untuk menemukan pemeran
utama yang pas. Aku tau, aku bisa.
~~~
Inu Kertapati : “Thanks a lot, Dewi Kirana. I will always love and prevent you forever.”
Dewi Kirana : “I just can give
my heart for you. Thank you very much.”
“Kat.”
Adeganpun berhenti. Aku
dan Alno baru memainkan dua scene dan untungnya lancar. Bu Sita-pun nampaknya
menyukai aktingku dengan Alno. Chemestrynya
dapet, begitu kata bu Sita.
“Kalian
boleh istirahat dulu. Nanti ibu panggil lagi.” Terang
bu Sita.
“Baik
bu. Terimakasih.” Jawabku bersamaan dengan Alno.
Aku dan Alnopun sedikit
menyingkir dari ruang utama. Kita-maksudku Aku dan Alno menuju ke teras ruang
teater.
“Bu
Sita emang baik kalo sama pemeran utama.” Alno membuka
pembicaraan
“Oh
ya? Kenapa?” Kataku sedikit kebingungan
“Haduh.
Dasar yaa anak baru. Barusan kitakan di baikin sama bu Sita. Yang lainnya masih
harus latihan, sedangkan kita ada tambahan jam istirahat.” Terang
Alno
“Oh
jadi karna itu.” Jawabku singkat.
Akupun semakin mengenal
lawan mainku. Perlahan sikap Alno berubah. Dia tidak sedingin saat pertemuan
pertama, beberapa minggu lalu. Alno bersikap baik dan ramah terhadapku. Benar
kata Rachel. Setiap aku kurang paham dengan naskahnya, Alno selalu membantuku.
Alno selalu memberikan arahan terhadapku. Bahkan untuk menemukan gerakan yang
pas, Alno sangat berbakat. Aku kagum terhadapnya. Bahkan selain teater, Alno
banyak mengikuti kegiatan, begitu kata Rachel. Mungkin kadar kekagumanku
bertambah.
“Alno
ternyata baik juga ya Hel.”
“Emang
dia baik kok Shaq, mungkin waktu perkenalan dulu dia lagi ada masalah, jadi
agak ketus.”
“Mungkin.”
“Kenapa
senyum-senyum sendiri? Lo suka?”
“Ahh
enggak kok.”
“Selain
teater, dia juga anak band sama basket lho Shaq.” Terang
Rachel tanpa kuminta.
“Biarin
deh.” Kataku tidak menggubris
~~~
Hari berlalu. Pentaspun
hanya tinggal menghitung hari. Klub teater semakin sering mengadakan latihan.
Dan otomatis pertemuan antara aku dan Alnopun semakin intensif. Aku rasa, mulai
ada getaran aneh yang terasa. Sepertinya ada perasaan yang mulai terlibatkan.
Tapi, apakah Alno juga merasakan. Ataukah hanya aku yang terlalu berperasa. Entahlah
yang penting, aku nyaman dengan keadaanku sekarang ini.
“Besok
kita akan gladi bersih. Ibu harap semua bersiap dengan baik. Naskah, gerakan
property harus sudah clear semua.” Terang bu Sita. Tak
lama kemudian, Alno menghampiriku.
“Shaq?”
Sapa
Alno
“Iya
Al. Kenapa?”
“Aku
mau bahas teater nih. Sekarang, bisa?”
“Bisa.
Kenapa?”
“Ntar
aja aku jelasinnya. Ayok ke kantin.” Begitu kata Alno sambil
meraih tangaku. Apa maksutnya. Kenapa Alno harus meraih tangaku? Bukankah cukup
mengajakku dan aku akan mengikuti langkahnya dari belakang.
Sesampainya di Kantin,
Alno malah memesan makanan bukannya malah langsung mengatakan apa yang ingin
dia katakan. Tapi, tak apalah bayak waktu yang bisa kuhabiskan bersamanya-apa.
“Sebenarnya
kamu mau bicarain apa?”
“Nothing.”
“Nothing?
Jadi kamu boongin aku? Terus tujuan kanu apa?” Kataku
sedikit menekan.
“Biar
ada waktu bareng kamu. Ya sama karna aku nggak ada temen makan.”
“Seakan-akan
kamu nyulik aku.”
“Udah
deh itu makan aja. Aku traktir.”
Aku bertanya dalam
hati. Apa maksut Alno mengatakan “biar ada waktu bareng kamu”? apa
jangan-jangan Alno juga berperasa? Ahh mengapa sekarang aku begitu berharap?
Tuhannn perasa apa ini.
~~~
Setelah berlatih cukup
lama, akhirnya hari pementasanpun tiba. Panggung hiburan berdiri dengan
megahnya. Semua pemain sudah siap dengan kostum maupun propertynya. Dan
sekarang entah mengapa aku menjadi sedikit gugup. Syukurlah klub teater tampil
urutan ke-2. Jadi aku tidak perlu berlama-lama menunggu. Tiba-tiba suara Alno
mengagetkanku.
“Kenapa?
Gugup?” Tanya Alno sedikit mengagetkanku
“Ngagetin
tau. Sedikit sih.”
“Ini
masih mending, tahun lalu orang tua juga diundang.” Terang
Alno
“Memang
sebelumnya kamu belum pernah pentas di acara seperti ini?” Lanjut
Alno
”Dulu
hanya lomba. Dan jurinyapun cuman ada 5.”
“Ohh.”
“Cuek
amat ya perasaan.”
“Selagi
jadi diri sendiri. Kenapa enggak. Aku nyaman dengan begini.” Jawabku
agak sedikit ketus
“Yaa
terserah aja deh. Toh kamu juga bakal hanyut nanti.”
“Maksut
kamu hanyut?” Tanyaku sedikit keheranan
“Ya
liat aja ntar.” Begitu jawabannya sembari
meninggalkanku.
Hanyut apa yang
dimaksut Alno? Hanyut dalam pentas atau-hanyut dalam perasaan. Ahh kenapa aku
jadi tidak focus seperti ini. Dan kenapa sejak Alno mengajakku ke kantin,
panggilannya berubah. Yang awalnya lo-gue kenapa jagi aku-kamu. What’s really happened? I’m so confused.
Acarapun dimulai.
Pembukaan, sambutan dan yang lainnya berlalu. Dan sekarang saatnya klub teater
beraksi.
---25menit---
Akhirnya klub teater
tampil. Semua berjalan dengan lancar, baik dan sesuai dengan yang direncanakan.
Penonton bersorak senang. Bahkan bu Sita sampai menagis haru. PENTAS SUKSES !
Tiba-tiba ada yang
meraih tangaku. Aku tak mampu berkata apa-apa. Mulut seakan terkencu. Hatiku
seakan beku. Setelah ku tahu, ternyata Alno. Ada apa lagi dengan dia. Dia
selalu menghantui perasaanku. Pernahkah aku bersalah terhadapnya? Dan sekarang
apa yang akan dia lakukan.
“Shaq.aku
tau mungkin ini terlalu cepat. Hanya dari beberapa pertemuan, tetapi aku begitu
memaknai berbagai kebersamaan didalamnya. Hatiku telah jatuh dihatimu. Aku
mulai menyayangimu. Dan mungkin aku tidak memberimu masa pendekatan yang begitu
manis. Semua itu karna aku tidak ingin manis diawal. Kamu ngetikan apa maksutku
bicara seperti ini? Aku ingin mulai saat ini, kita bisa sama-sama terus. Dan
kemesraan kita tidak hanya di teater tapi di dunia nyata. Aku menyayangimu.” Cakap
Alno dengan begtu tulusnya.
“Nggak
ada yang salah dengan perasaanmu Al. Akupun juga merasakan. Tidak terlalu cepat
ataupun yang terlalu lambat. Semua tepat pada waktunya. Akupun menyayangimu.” Airmataku
runtuh. Aku tak mampu menahan bahagia ini. Alnopun memelukku erat dan semakin
erat. Dia tak menggubris orang-orang disekitanya. Semua begitu indah bukan?
-Dhini
N.Shabrina