Senin, 27 April 2015

Terjebak

Katanya, kejadian itu terjadi sudah cukup lama. Namun mengapa aku sedikitpun tidak mengetahuinya, bahkan untuk sekedar menyadarinya. Tetapi apakah aku harus percaya? Bukankah wajar saja jika sikap seseorang terhadap satu orang atau dengan orang lainnya itu berbeda? Tapi yang aku heran, mengapa katanya sikapnya begitu manis kepadaku? Namun, tenyata aku terjebak. -Inaw

“In, kamu sadar tidak jika sebenarnya ada yang diam-diam memperhatikanmu?”
“Ah, jangan ngaco kamu Ndah.”
“Iya kok, aku serius. Kamu tahukan seberapa besar keseriusanku.”
“Jadi, siapa yang sedang diam-diam memperhatikanku?”
“Ada deh.”  Indahpun langsung pergi dari hadapanku
Kata-kata Indah membuatku tiba-tiba tercengang. Bukankah aku telah bergaul ala kadarnya. Maka, wajar saja kan jika aku tidak merasakan ada keanehan. Namun, apa hal yang baru saja dikatakan Indah, sahabatku. Aku sedikitpun tidak memahaminya.
Hari berganti, tetapi Indah masih saja mengata-ngataiku seperti itu. Disitu aku mulai merasa begitu tidak pekanya diriku terhadap lingkungan di sekitarku. Hingga pada akhirnya, Indah mau mengatakan yang sejujurnya.
“Kamu masih belum paham In, siapa yang sebenarnya sedang diam-diam memperhatikanmu?” Tanya Indah dengan wajah sumringahnya
“Tahupun tidak, bagaimana aku bisa paham. Katakanlah saja Ndah!”
“Oke, baiklah. Tetapi kamu jangan terkejut ya.”
Namun, tiba-tiba Arga menghampiri kita. Dan Indahpun belum sempat mengatakan siapa sebenarnya orang yang ia maksut.
“Hai, Inaw Indah. Ganggu sebentar boleh?”
“Ada apa Ar?”
“Aku mau pinjem Indah sebentar. Ada rapat redaksi.”
“Ohh, yaudah pergi sana. Daripada kamu disini bikin aku bingung. Tapi inget ya, kamu masih hutang sama aku.” Kataku sambil menyengir ke wajah Indah
“Siap Inaw.”
Lagi-lagi tertunda, mengapa rasanya aku begitu kecewa. Ataukah aku hanya sekedar penasaran tentang siapa orang yang sebenarnya Indah maksut. Tetapi mengapa aku harus penasaran? Apa karena tingkah orang yang Indah maksut terlalu diam-diam. Mungkin memang sudah saatnya aku harus mencermati atau mungkin mengkhususkan seseorang yang terkesan memberi perhatiannya padaku. Tetapi bagaimana jika aku salah mengartikan semuanya hingga akhirnya aku terjebak sendiri.
~~~
“In, sebenarnya orang yang aku maksut itu Arga.”
“Apa? Arga? Eh, tapi bentar kesambet apa kamu tiba-tiba langsung bilang ke aku?”
“Sebatas biar kamu tidak penasaran aja. Aku kan tau, gimana keseharianmu kalau kamu lagi penasaran. Dan aku kan udah janji ke kamu.”
“Terus, apa yang harus aku lakuin?”
“Ya, kamu coba lihat tingkahnya dia. Kalau menurutku sikap dia ke kamu agak beda, daripada sikap dia ke temen-temen yang lain. Termasuk aku.”
“Ohh aku tahu. Kamu ngerasa dia tidak asyik buat kamu. Atau kamu merasa terdiskriminasi? Iya kan.”
“Astaga Inaw. Buat apa coba. Aku hanya sekedar ngasih tahu kamu aja In. kali aja kamu tertarik memperhatikannya juga. Hahaha.”
“Kamu apaan sih Ndah.”
Arga. Mengapa dia harus dengan jurus diam-diam. Bukankah sebenarnya aku dan dia sudah biasa bergaul satu sama lain. Lalu tujuannya secara diam-diam apa? Ahh entahlah, aku tak ingin ambil pusing. Mungkin sebaiknya biarkan mengalir seperti air saja. Tetapi, bukankah jika aku membiarkan saja sama halnya dengan aku mengabaikan. Memang begitu atau hanya perasaanku saja, mungkin.
Hari berganti, rasanya Arga memang benar-benar memperhatikanku. Dan kini, bukan dengan jurus diam-diam seperti sebelumnya. Perhatiannya semakin nyata. Begitupun perasaan yang tumbuh juga semakin nyata, atau hanya perasaanku saja. Apa mungkin dalam Kisah ini Indah berperan sebagai perantara? Tapi hukum sebab akibat mana yang membuatku memiliki pertimbangan tentang hal ini. Ah, biarkan sajalah, lagi-lagi aku tak ingin ambil pusing.
Hari itu, adalah hari jadi sekolahku ke 50. Tepatnya saat bazar foodn’drink berlangsung. Awalnya akupun tak menyadarinya, hingga tiba-tiba mataku dan matanya saling bertemu, saling beradu dan akupun mampu menemukan bayanganku tepat di bola matanya. Entah apa yang aku pikirkan saat itu, tetapi rasanya aku sedang ingin berpura-pura.
“Arga? Are you okay?” Aku membuka pembicaraan
“Eh, astaga maaf In. Aku tidak bermaksut apa-apa.” Jawab Arga sedikit gelagapan
“Hloh, emang tadi kamu ngapain.” Tanyaku dengan sedikit berpura-pura penasaran
“Mandangin kamu.” Jawab Arga dengan PDnya
“Yee, apaan sih.”
“Ya tidak apa-apa. Tidak ada yang salah kan?”
“Terserah kamu aja deh.”
Sebegitu beraninya Arga mengatakan hal itu padaku. Entah sebenarnya dia sengaja atau memang dia keceplosan. Lalu apa maksutnya? Tetapi, apakah aku terlalu cepat mengartikan perasaan yang tumbuh ini? Apa tidak terlalu dini jika aku menganggap sikap Arga sama seperti apa yang Indah maksut. Tetapi sekarang aku mulai menyadari, ada dua kemungkinan tentang peran Indah. Mungkin saja Indah sebagai perantara, tetapi mungkin saja Indahpun hanya sebagai pengamat. Disitu aku mulai merasa bahwa aku telah terjebak.
~~~
Seminggu berlalu. Entah hanya perasaaku saja, atau memang benar-benar terjadi. Arga menjauh. Perhatiannya tak lagi sama seperti seminggu lalu. Bahkan aku sudah jarang melihatnya menyambangi kelasku. Mungkinkah terjadi sesuatu dengan Arga?
“Ndah, rasanya Arga jarang ya ke kelas kita lagi?”
“Iya, semenjak HUT sekolah kan?”
“Hemm.”
“Waa, jangan-jangan kamu kangen ya?”
“Apaan sih. Tidak mungkinlah.”
“Yakin? Raut wajahmu berubah hloh. Yaudah deh nanti aku carikan info tentang dia.”
“Yayaya, terserah kamu aja deh Ndah.”
Bel istirahat berdering, seluruh siswapun berhamburan keluar kelas dan menuju kantin. Tetapi tidak dengan Indah. Mungkin Indah ingin langsung mengeruk informasi tentang Arga? Ah biarlah yang jelas saat ini aku sedang ingin mengeruk makanan di kantin. Lima belas menit kemudian, nampak dari jauh Indah berlari kecil menuju kantin. Diapun langsung mengatakan apa yang sebenarnya terjadi.
“In.”
“Darimana saja kamu? Tumben tidak langsung ke kantin.”
“Aku mau kasih tau info tentang Arga tetapi kamu jangan marah ya.”
“Okay, silahkan.”
“Arga jadian sama Stefi.”
“Wow.” Hatiku berkecamuk. Nafasku tersenggal-senggal. Tapi aku sadar aku bukan siapa-siapanya.
“In, Are you Okay?”
“Yes, I’m fine. Tidak apalah. Jadi kesimpulannya prediksimu salah total!”
“Tapi kamu tidak marah kan?”
“Tidak, aku kan juga tidak begitu berharap pada Arga.”
“Oke syukurlah.”

Secara lisan aku mampu aku mengatakan “aku tidak begitu berharap” tetapi bisa jadi “aku sedikit berharap”. Dan kini aku menyadari, aku telah terjebak. Perkataan Indah mebuatku terjebak dalam perasa singkat tak bernama. Begitupun pada akhirnya aku sendiri terjebak dalam penyesalan yang belum bisa kuakhiri. Jadi, disini Indah hanya berperan sebagai pengamat. Dan Aku Terjebak!

Dhini N. Shabrina 


0 komentar:

Posting Komentar