Jumat, 30 Januari 2015

DALAM DIAM

Aku hanya terdiam
Namun bukan berarti ku tak peduli
Aku hanya terdiam
Namun bukan berarti ku tak mengerti

Tapi dalam diamku
Ku menyimpan berjuta kerinduan
Yang sepertinya tak bisa ku ungkapkan
Dan juga tak bisa ku nyatakan
Dengan sejumlah kata yang telah kukenal

Entah hal apa yang telah terjadi
Akupun juga tak mengerti
Mungkin merenungkan segala yang telah terjadi
Atau mungkin penyesalan yang tak berarti
Atau mungkin suatu hal yang masih belum ku mengerti


Hanya angin malam yang menemani
Dan udara dingin yang menyelimuti
Dalam diamku ku berusaha berdo’a
Memohon kepadaNya agar ku bisa
Bisa kembali mengeluarkan beberapa patah kata
Untuk menjawab arti diamku ini
Tuhan bantulah aku
Seorang yang lemah dan tak berdaya ini 


Kamis, 08 Januari 2015

Kamu

          Sesosok yang awalnya membuatku kagum terhadap dirinya.. Sesosok yang perlahan membuatku nyaman berada didekatnya.. Sesosok yang sering memberiku arah saat aku mulai tersesat..
          Dirimu begitu indah.. Dirimu seakan begitu membuatku menjadi makhluk paling beruntung.. Dirimu yang awalnya sulit untuk ku mengerti.. Namun perlahan kumulai bisa memahami..
          Dirimu yang begitu berbeda dengan lainnya.. Dirimu yang ternyata tidak seperti yang aku banyangkan.. Disaat yang lain mungkin lebih mengintensifkan waktunya untuk menghubungi, tetapi dirimu malah sebaliknya.. Disaat yang lain mungkin mengharuskan dalam satu minggu harus bertemu minimal satu kali, tetapi kita? Bahkan dalam kurun waktu dua bulanpun kita belum bertemu.. Entah waktu yang enggan mempertemukan ataukah kita yang mungkin tidak memiliki waktu untuk itu..
          Tetapi, dirimu tetap special dihatiku.. Dirimu tetap tersimpan di palung hatiku yang terdalam.. Namamu tetap terukir dengan indah.. Dan kenangan-kenangan kita masih jelas terekam dimemoriku..
Satu yang ingin aku katakan padamu..

Aku tetap mencintaimu sampai habis masaku.. 

-DNS-

Pertemuan di Ruang Teater

Tidak ada terlalu cepat.
Tidak ada yang terlambat.
Semua tepat pada waktunya.
Hanya saja kita harus sabar menunggu.
Rencana Tuhan indah bukan? J
Hari ini hari pertamaku untuk mengikuti ekskul teater. Ya tepatnya karena aku siswa baru di SMA ini. Aku pindah ke sekolah ini karena ayahku dipindah tugaskan. Aku hanya berjalan menyusuri lorong-lorong sekolah. Kata teman sekelasku ruang teater berada diujung lorong gedung bagian timur.
“Mungkin ini” Gumamku dalam hati.
Setelah aku membuka pintunya ternyata Pembina teater sudah berada di ruang itu. Dan aku terlambat 1 menit.
“Permisi Bu. Maaf saya terlambat.”
“Kamu anak baru ya?”
“Iya Bu. Apa saya dapat hukuman?”
“Sudah tidak apa-apa,. Mungkin tadi kamu bingung mencari ruangan ini kan? Selamat bergabung ya. Siapa namamu?”
“Terimakaih Bu. Saya Shaqilla Thalitharia Agnessia Putri.”
“Oke. Perhatian semuanya. Sebelum dimulai latihan hari ini. Kita berdo’a dulu. Ber’doa mulai ----. Berdo’a selesai. Sebelumnya, ini ada anggota baru, namanya Agnessia Putri. Ibu harap kalian bisa berteman baik dengan dia. Kalian bisa latihan dulu. Ibu mau mencari karakter untuk Agnes.”
“Baikk bu”
Selesai memperkenalkanku pada anggota teater, bu Sita melatihku untuk menemukan karakter yang cocok untukku. Dan ternyata aku cocok menjadi protagonis. Aku berlatih dan terus berlatih. Namun ternyata pada hari ini belum ada latihan yang sesungguhnya. Melainkan baru mencari-cari karakter untuk pentas 5 bulan lagi. Begitu kata bu Sita.
Ternyata ada temanku satu kelas yang juga mengikuti ektrakulikuler tearter ini. Rachel. Aku menghampirinya karena semua orang terlihat asing bagiku.
“Rachel?”
“Eh, Shaq. Maaf gue nggak tau kalau lo ikut teater juga. Tau gitu tadi  bareng, lo  pasti bingungkan cari ruangan teater.” Terang Rachel
“Enggak papa Hel. Iya sih agak bingung. Gue harap lo bisa bantu gue ya disini.”
“Iya. Pasti. Kalau gitu ayo gue kenalin lo sama temen-temen yang lain.”
“Okee. Makasih. Mari.”
Satu per satu anggota klub teater mulai kukenal. Semuanya ramah. Tetapi ada satu anggota klub yang menurutku sedikit kurang bersahabat. Namanya Alno.
“No, kenalin Shaq.”
“Katanya bu Sita tadi Agnes. Kok sekarang Shaq. Aneh.” Begitu kata Alno dengan ketusnya
“Namaku Shaqila Thalitharia Agnesia Putri. Mungkin yang mudah diingat bu Sita Agnesnya.” Terangku panjang lebar
“Ohh. Sayangnya namamu bagiku nggak penting. Yaudah eh gue Alno.”
“Maaf gue males buat debat. Senang berkenalan denganmu.” Kataku sembari meninggalkan Alno. Rachelpun tidak berkata apa-apa.
Setelah menjauh dari letak Alno, Rachel menjelaskan bahwasanya Alno tidak biasanya bertingkah seperti itu. Biasanya di nyambung dengan yang lainnya. Mungkin dia sedang ada masalah. Bisa jadi Rachel menyuruhku untuk tidak terlalu memasukkan kata-kata Alno tadi.
~~~
Hari pertama disekolah baruku begitu menyenangkan. Tanpa ada bullying atau apapun. Semua temanku ramah dan asyik. Terkecuali, Alno. Ah biarkan saja. Dia hanya teman satu klub yang akupun tak tahu dia sebagai apa.
“Malem Shaqila. Gimana tadi sekolahnya?” Sapa manis kakakku. Kak Rhein
“Malem Kak. Asyik kok kak. Temenku baik-baik. Cuman satu yang agak ketus. Tapi untungnya nggak satu kelas.” Jelasku pada Kak Rhein
“Loh, udah kenal juga sama yang beda kelas?”
“Beberapa sih Kak. Tadi kan udah masuk ekstakulikuler. Terus sama temen sekelasku dikenalin sama seluruh anggota klub.”
“Ohh gitu. Ya semoga kamu betah gitu aja sih. Sama andai kata dia ketus lagi nggak usah dibawa hati.”
“Okeesip Kakak.”
“Yaudah kakak tinggal dulu.”
~~~
Hari demi hari terlewati. Aku mulai bersahabat dengan sekolah ini. Begitupun aku semakin bersahabat dengan Rachel. Minggu ini agenda klub teater adalah pembagian pemeran, begitu kata Rachel.
“Shaq nanti ke ruang teater bareng gue aja. Hari ini keknya bakal ada pembagian pemeran.”
“Oke deh. Karaktermu apa Hel?”
“Gue sih protagonist bisa antagonis juga bisa. Tinggal nanti dapet bagiannya apa. Kalo kata bu Sita, wajah gue bisa didandanin jadi protagaonis ataupun antagonis.”
“Wah, multitalent donk.”
“Syukur deh. Kalo lo?”
“Gue? Kemaren sih katanya bu Sita gue cocokan jadi protagonis.”
“Iyalah lo kan orangnya polos.”
“Yee apaan sih Hel.”
Percakapankupun berhenti sesaat setelah guru mapel biologi masuk ke kelas. Kelas menjadi hening, dan semua siswa memperhatikan pennjelasan guru dengan seksama. Ya mungkin karena materi yang disampaikan rumayan berat. Hehehe.
Bel tanda pelajaran selesaipun berdering. Beberapa siswa ada yang langsung pulang. Tapi tidak denganku. Seperti yang kubicarakan dengan Rachel tadi tentang klub teaterku.
“Ayo Shaq.” Ajak Rachel
“Iya Hel. Bye the way sesering apa sih klub teater ngadain pertunjukan?” Tanyaku ke Rachel
“Kalo yang wajib itu pas persembahan perpisahan kakak kelas Shaq. Kalo yang lainnya sih kayak pas pensi akhir semester, ulang tahun sekolah, terus kalau ada tamu ke sekolah sama kadang ada perlombaan teater tingkat SMA sederajat.” Terang Rachel
“Ohh gitu. Banyak juga ya.”
“Iya Shaq. Siap-siap aja sering dapet kabar buat latihan mendadak.”
“Oke deh.”
Sesampainya di Ruang Teater ternyata sudah banyak siswa lain yang ada disana. Yaa mungkin waktu untuk turun ke lantai satu agak lama. Tak lama kemudian bu Sita datang.
“Selamat sore semua.”
“Sore Bu.” Jawab kami serempak
“Alno saya minta absennya.”
“Ini Bu. Semua sudah datang.”
“Bagus, kalau begitu sebelum memulai latihan sore ini, kita berdo’a dulu. Do’a mulai ---- Do’a selesai.”
“Hari ini kita akan bahas untuk acara perpisahan kakak kelas kalian. Kita dapat durasi 25 menit untuk tampil. Untuk waktu dan tempat pelaksanaannya nanti nyusul. Menurut ibu, kita akan ambil Drama Keong mas tetapi dalam bahasa Inggris. Dan ibu akan memberikan kesempatan kepada Shaq, untuk menjadi pemeran utama dalam pementasan kali ini. Bagaimana Shaq kamu bersedia?” Begitu penjelasan dari bu Sita. Suatu kepercayaan dan tanggung jawab besar yan diberikan kepadaku.
“Berjalan aja bu. Saya akan berlatih sebiasa saya. Andai memang bagus saya bersedia. Tetapi andai ada yang lebih cocok saya juga tidak apa-apa jika harus tergantikan.”
“Baik, kalau begitu pasangan main kamu adalah Alno. Kamu sudah kenal kan dengan dia?”
“Alno bu? Iya bu, sudah.”
Setengah kaget, gimana bisa aku bekerja sama dengan orang yang super jutek seperti Alno. Tapi aku harus bertindak professional. Aku harus menunjukkan kemampuanku dengan baik. Aku tidak boleh membuat kecewa dan hanya mengulur waktu untuk menemukan pemeran utama yang pas. Aku tau, aku bisa.
~~~
Inu Kertapati        : “Thanks a lot, Dewi Kirana. I will always love and prevent                             you forever.”
Dewi Kirana           : “I just can give my heart for you. Thank you very much.” 

“Kat.”
Adeganpun berhenti. Aku dan Alno baru memainkan dua scene dan untungnya lancar. Bu Sita-pun nampaknya menyukai aktingku dengan Alno. Chemestrynya dapet, begitu kata bu Sita.
“Kalian boleh istirahat dulu. Nanti ibu panggil lagi.” Terang bu Sita.
“Baik bu. Terimakasih.” Jawabku bersamaan dengan Alno.
Aku dan Alnopun sedikit menyingkir dari ruang utama. Kita-maksudku Aku dan Alno menuju ke teras ruang teater.
“Bu Sita emang baik kalo sama pemeran utama.” Alno membuka pembicaraan
“Oh ya? Kenapa?” Kataku sedikit kebingungan
“Haduh. Dasar yaa anak baru. Barusan kitakan di baikin sama bu Sita. Yang lainnya masih harus latihan, sedangkan kita ada tambahan jam istirahat.” Terang Alno
“Oh jadi karna itu.” Jawabku singkat.
Akupun semakin mengenal lawan mainku. Perlahan sikap Alno berubah. Dia tidak sedingin saat pertemuan pertama, beberapa minggu lalu. Alno bersikap baik dan ramah terhadapku. Benar kata Rachel. Setiap aku kurang paham dengan naskahnya, Alno selalu membantuku. Alno selalu memberikan arahan terhadapku. Bahkan untuk menemukan gerakan yang pas, Alno sangat berbakat. Aku kagum terhadapnya. Bahkan selain teater, Alno banyak mengikuti kegiatan, begitu kata Rachel. Mungkin kadar kekagumanku bertambah.
“Alno ternyata baik juga ya Hel.”
“Emang dia baik kok Shaq, mungkin waktu perkenalan dulu dia lagi ada masalah, jadi agak ketus.”
“Mungkin.”
“Kenapa senyum-senyum sendiri? Lo suka?”
“Ahh enggak kok.”
“Selain teater, dia juga anak band sama basket lho Shaq.” Terang Rachel tanpa kuminta.
“Biarin deh.” Kataku tidak menggubris
~~~
Hari berlalu. Pentaspun hanya tinggal menghitung hari. Klub teater semakin sering mengadakan latihan. Dan otomatis pertemuan antara aku dan Alnopun semakin intensif. Aku rasa, mulai ada getaran aneh yang terasa. Sepertinya ada perasaan yang mulai terlibatkan. Tapi, apakah Alno juga merasakan. Ataukah hanya aku yang terlalu berperasa. Entahlah yang penting, aku nyaman dengan keadaanku sekarang ini.
“Besok kita akan gladi bersih. Ibu harap semua bersiap dengan baik. Naskah, gerakan property harus sudah clear semua.” Terang bu Sita. Tak lama kemudian, Alno menghampiriku.
“Shaq?” Sapa Alno
“Iya Al. Kenapa?”
“Aku mau bahas teater nih. Sekarang, bisa?”
“Bisa. Kenapa?”
“Ntar aja aku jelasinnya. Ayok ke kantin.” Begitu kata Alno sambil meraih tangaku. Apa maksutnya. Kenapa Alno harus meraih tangaku? Bukankah cukup mengajakku dan aku akan mengikuti langkahnya dari belakang.
Sesampainya di Kantin, Alno malah memesan makanan bukannya malah langsung mengatakan apa yang ingin dia katakan. Tapi, tak apalah bayak waktu yang bisa kuhabiskan bersamanya-apa.
“Sebenarnya kamu mau bicarain apa?”
“Nothing.”
“Nothing? Jadi kamu boongin aku? Terus tujuan kanu apa?” Kataku sedikit menekan.
“Biar ada waktu bareng kamu. Ya sama karna aku nggak ada temen makan.”
“Seakan-akan kamu nyulik aku.”
“Udah deh itu makan aja. Aku traktir.”
Aku bertanya dalam hati. Apa maksut Alno mengatakan “biar ada waktu bareng kamu”? apa jangan-jangan Alno juga berperasa? Ahh mengapa sekarang aku begitu berharap? Tuhannn perasa apa ini.
~~~
Setelah berlatih cukup lama, akhirnya hari pementasanpun tiba. Panggung hiburan berdiri dengan megahnya. Semua pemain sudah siap dengan kostum maupun propertynya. Dan sekarang entah mengapa aku menjadi sedikit gugup. Syukurlah klub teater tampil urutan ke-2. Jadi aku tidak perlu berlama-lama menunggu. Tiba-tiba suara Alno mengagetkanku.
“Kenapa? Gugup?” Tanya Alno sedikit mengagetkanku
“Ngagetin tau. Sedikit sih.”
“Ini masih mending, tahun lalu orang tua juga diundang.” Terang Alno
“Memang sebelumnya kamu belum pernah pentas di acara seperti ini?” Lanjut Alno
”Dulu hanya lomba. Dan jurinyapun cuman ada 5.”
“Ohh.”
“Cuek amat ya perasaan.”
“Selagi jadi diri sendiri. Kenapa enggak. Aku nyaman dengan begini.” Jawabku agak sedikit ketus
“Yaa terserah aja deh. Toh kamu juga bakal hanyut nanti.”
“Maksut kamu hanyut?” Tanyaku sedikit keheranan
“Ya liat aja ntar.” Begitu jawabannya sembari meninggalkanku.
Hanyut apa yang dimaksut Alno? Hanyut dalam pentas atau-hanyut dalam perasaan. Ahh kenapa aku jadi tidak focus seperti ini. Dan kenapa sejak Alno mengajakku ke kantin, panggilannya berubah. Yang awalnya lo-gue kenapa jagi aku-kamu. What’s really happened? I’m so confused.
Acarapun dimulai. Pembukaan, sambutan dan yang lainnya berlalu. Dan sekarang saatnya klub teater beraksi.
---25menit---
Akhirnya klub teater tampil. Semua berjalan dengan lancar, baik dan sesuai dengan yang direncanakan. Penonton bersorak senang. Bahkan bu Sita sampai menagis haru. PENTAS SUKSES !
Tiba-tiba ada yang meraih tangaku. Aku tak mampu berkata apa-apa. Mulut seakan terkencu. Hatiku seakan beku. Setelah ku tahu, ternyata Alno. Ada apa lagi dengan dia. Dia selalu menghantui perasaanku. Pernahkah aku bersalah terhadapnya? Dan sekarang apa yang akan dia lakukan.
“Shaq.aku tau mungkin ini terlalu cepat. Hanya dari beberapa pertemuan, tetapi aku begitu memaknai berbagai kebersamaan didalamnya. Hatiku telah jatuh dihatimu. Aku mulai menyayangimu. Dan mungkin aku tidak memberimu masa pendekatan yang begitu manis. Semua itu karna aku tidak ingin manis diawal. Kamu ngetikan apa maksutku bicara seperti ini? Aku ingin mulai saat ini, kita bisa sama-sama terus. Dan kemesraan kita tidak hanya di teater tapi di dunia nyata. Aku menyayangimu.” Cakap Alno dengan begtu tulusnya.
“Nggak ada yang salah dengan perasaanmu Al. Akupun juga merasakan. Tidak terlalu cepat ataupun yang terlalu lambat. Semua tepat pada waktunya. Akupun menyayangimu.” Airmataku runtuh. Aku tak mampu menahan bahagia ini. Alnopun memelukku erat dan semakin erat. Dia tak menggubris orang-orang disekitanya. Semua begitu indah bukan?

                                                                                          -Dhini N.Shabrina