Katanya,
kejadian itu terjadi sudah cukup lama. Namun mengapa aku sedikitpun tidak
mengetahuinya, bahkan untuk sekedar menyadarinya. Tetapi apakah aku harus
percaya? Bukankah wajar saja jika sikap seseorang terhadap satu orang atau
dengan orang lainnya itu berbeda? Tapi yang aku heran, mengapa katanya sikapnya
begitu manis kepadaku? Namun, tenyata aku terjebak. -Inaw
“In,
kamu sadar tidak jika sebenarnya ada yang diam-diam memperhatikanmu?”
“Ah,
jangan ngaco kamu Ndah.”
“Iya
kok, aku serius. Kamu tahukan seberapa besar keseriusanku.”
“Jadi,
siapa yang sedang diam-diam memperhatikanku?”
“Ada
deh.” Indahpun langsung pergi dari
hadapanku
Kata-kata
Indah membuatku tiba-tiba tercengang. Bukankah aku telah bergaul ala kadarnya. Maka,
wajar saja kan jika aku tidak merasakan ada keanehan. Namun, apa hal yang baru
saja dikatakan Indah, sahabatku. Aku sedikitpun tidak memahaminya.
Hari
berganti, tetapi Indah masih saja mengata-ngataiku seperti itu. Disitu aku
mulai merasa begitu tidak pekanya diriku terhadap lingkungan di sekitarku.
Hingga pada akhirnya, Indah mau mengatakan yang sejujurnya.
“Kamu
masih belum paham In, siapa yang sebenarnya sedang diam-diam memperhatikanmu?”
Tanya Indah dengan wajah sumringahnya
“Tahupun
tidak, bagaimana aku bisa paham. Katakanlah saja Ndah!”
“Oke,
baiklah. Tetapi kamu jangan terkejut ya.”
Namun,
tiba-tiba Arga menghampiri kita. Dan Indahpun belum sempat mengatakan siapa
sebenarnya orang yang ia maksut.
“Hai,
Inaw Indah. Ganggu sebentar boleh?”
“Ada
apa Ar?”
“Aku
mau pinjem Indah sebentar. Ada rapat redaksi.”
“Ohh,
yaudah pergi sana. Daripada kamu disini bikin aku bingung. Tapi inget ya, kamu
masih hutang sama aku.” Kataku sambil menyengir ke wajah Indah
“Siap
Inaw.”
Lagi-lagi
tertunda, mengapa rasanya aku begitu kecewa. Ataukah aku hanya sekedar
penasaran tentang siapa orang yang sebenarnya Indah maksut. Tetapi mengapa aku
harus penasaran? Apa karena tingkah orang yang Indah maksut terlalu diam-diam.
Mungkin memang sudah saatnya aku harus mencermati atau mungkin mengkhususkan seseorang
yang terkesan memberi perhatiannya padaku. Tetapi bagaimana jika aku salah
mengartikan semuanya hingga akhirnya aku terjebak sendiri.
~~~
“In,
sebenarnya orang yang aku maksut itu Arga.”
“Apa?
Arga? Eh, tapi bentar kesambet apa kamu tiba-tiba langsung bilang ke aku?”
“Sebatas
biar kamu tidak penasaran aja. Aku kan tau, gimana keseharianmu kalau kamu lagi
penasaran. Dan aku kan udah janji ke kamu.”
“Terus,
apa yang harus aku lakuin?”
“Ya,
kamu coba lihat tingkahnya dia. Kalau menurutku sikap dia ke kamu agak beda,
daripada sikap dia ke temen-temen yang lain. Termasuk aku.”
“Ohh
aku tahu. Kamu ngerasa dia tidak asyik buat kamu. Atau kamu merasa
terdiskriminasi? Iya kan.”
“Astaga
Inaw. Buat apa coba. Aku hanya sekedar ngasih tahu kamu aja In. kali aja kamu
tertarik memperhatikannya juga. Hahaha.”
“Kamu
apaan sih Ndah.”
Arga.
Mengapa dia harus dengan jurus diam-diam. Bukankah sebenarnya aku dan dia sudah
biasa bergaul satu sama lain. Lalu tujuannya secara diam-diam apa? Ahh
entahlah, aku tak ingin ambil pusing. Mungkin sebaiknya biarkan mengalir
seperti air saja. Tetapi, bukankah jika aku membiarkan saja sama halnya dengan
aku mengabaikan. Memang begitu atau hanya perasaanku saja, mungkin.
Hari
berganti, rasanya Arga memang benar-benar memperhatikanku. Dan kini, bukan
dengan jurus diam-diam seperti sebelumnya. Perhatiannya semakin nyata.
Begitupun perasaan yang tumbuh juga semakin nyata, atau hanya perasaanku saja.
Apa mungkin dalam Kisah ini Indah berperan sebagai perantara? Tapi hukum sebab
akibat mana yang membuatku memiliki pertimbangan tentang hal ini. Ah, biarkan
sajalah, lagi-lagi aku tak ingin ambil pusing.
Hari
itu, adalah hari jadi sekolahku ke 50. Tepatnya saat bazar foodn’drink berlangsung. Awalnya akupun tak menyadarinya, hingga
tiba-tiba mataku dan matanya saling bertemu, saling beradu dan akupun mampu
menemukan bayanganku tepat di bola matanya. Entah apa yang aku pikirkan saat
itu, tetapi rasanya aku sedang ingin berpura-pura.
“Arga?
Are you okay?” Aku membuka pembicaraan
“Eh,
astaga maaf In. Aku tidak bermaksut apa-apa.” Jawab Arga sedikit gelagapan
“Hloh,
emang tadi kamu ngapain.” Tanyaku dengan sedikit berpura-pura penasaran
“Mandangin
kamu.” Jawab Arga dengan PDnya
“Yee,
apaan sih.”
“Ya
tidak apa-apa. Tidak ada yang salah kan?”
“Terserah
kamu aja deh.”
Sebegitu
beraninya Arga mengatakan hal itu padaku. Entah sebenarnya dia sengaja atau
memang dia keceplosan. Lalu apa maksutnya? Tetapi, apakah aku terlalu cepat
mengartikan perasaan yang tumbuh ini? Apa tidak terlalu dini jika aku
menganggap sikap Arga sama seperti apa yang Indah maksut. Tetapi sekarang aku
mulai menyadari, ada dua kemungkinan tentang peran Indah. Mungkin saja Indah
sebagai perantara, tetapi mungkin saja Indahpun hanya sebagai pengamat. Disitu
aku mulai merasa bahwa aku telah terjebak.
~~~
Seminggu
berlalu. Entah hanya perasaaku saja, atau memang benar-benar terjadi. Arga
menjauh. Perhatiannya tak lagi sama seperti seminggu lalu. Bahkan aku sudah
jarang melihatnya menyambangi kelasku. Mungkinkah terjadi sesuatu dengan Arga?
“Ndah,
rasanya Arga jarang ya ke kelas kita lagi?”
“Iya,
semenjak HUT sekolah kan?”
“Hemm.”
“Waa,
jangan-jangan kamu kangen ya?”
“Apaan
sih. Tidak mungkinlah.”
“Yakin?
Raut wajahmu berubah hloh. Yaudah deh nanti aku carikan info tentang dia.”
“Yayaya,
terserah kamu aja deh Ndah.”
Bel
istirahat berdering, seluruh siswapun berhamburan keluar kelas dan menuju
kantin. Tetapi tidak dengan Indah. Mungkin Indah ingin langsung mengeruk
informasi tentang Arga? Ah biarlah yang jelas saat ini aku sedang ingin
mengeruk makanan di kantin. Lima belas menit kemudian, nampak dari jauh Indah
berlari kecil menuju kantin. Diapun langsung mengatakan apa yang sebenarnya
terjadi.
“In.”
“Darimana
saja kamu? Tumben tidak langsung ke kantin.”
“Aku
mau kasih tau info tentang Arga tetapi kamu jangan marah ya.”
“Okay,
silahkan.”
“Arga
jadian sama Stefi.”
“Wow.”
Hatiku berkecamuk. Nafasku tersenggal-senggal. Tapi aku sadar aku bukan
siapa-siapanya.
“In,
Are you Okay?”
“Yes,
I’m fine. Tidak apalah. Jadi kesimpulannya prediksimu salah total!”
“Tapi
kamu tidak marah kan?”
“Tidak,
aku kan juga tidak begitu berharap pada Arga.”
“Oke
syukurlah.”
Secara
lisan aku mampu aku mengatakan “aku tidak begitu berharap” tetapi bisa jadi
“aku sedikit berharap”. Dan kini aku menyadari, aku telah terjebak. Perkataan
Indah mebuatku terjebak dalam perasa singkat tak bernama. Begitupun pada
akhirnya aku sendiri terjebak dalam penyesalan yang belum bisa kuakhiri. Jadi,
disini Indah hanya berperan sebagai pengamat. Dan Aku Terjebak!
Dhini N. Shabrina