Minggu, 20 Desember 2015

Terlambat Memahami

Apakah kau tahu apa itu Cinta?

Suatu ketika, aku bertanya “apakah kau punya hati?”. Lawan bicaraku pun menjawab “ya, aku punya hati.”. Aku pun kembali bertanya “apa yang kau punya dari hatimu?”. Ia pun menjawab “Cinta.”

Bolehkah aku menarik kesimpulan bahwa cinta ada dalam hati? Namun, sesederhanakan itu cinta? Aku tak paham. Atau lebih tepatnya aku belum paham tentang cinta.

Astaga, mungkin bahasa ku terlalu tinggi untuk mengatakan hal-hal tentang cinta. Aku meralat semua pernyataan dan simpulanku tadi. Dan kusebut menjadi perasa didalam hati.

Aku tak tahu sejak kapan perasa itu tumbuh. Aku tak tahu bagaimana selukbeluk adanya perasa itu didalam hatiku. Semua terjadi begitu saja. Aku hanya tertegun saat aku menyadari bahwa ada perasa yang berbeda didalam hatiku. Namun, disaat aku menyadarinya kau sudah terlanjur pergi.

Tak ada yang bisa disalahkan tentang dua hati yang terlambat menyadari atau yang terlanjur pergi. Kalian tau? Kedua hati itu sama-sama berjuang. Saat satu hati mengirimkan sinyal perasa, satu hati lainnya pun mencoba menafsir setiap sirat perasa. Hanya saja satu hati lainnya itu tak bisa untuk benar-benar menafsir. Karena apa? Keadaan memaksanya untuk enggan memahaminya. Namun, saat satu hati lainnya mulai memahami, satu hatu hati yang pertama mulai beranjak pergi. Pergi bukan untuk meninggalkan. Namun, menghentikan suatu penantian. Bukan tentang berhenti berjuang.

Kini, apa yang bisa dilakukan oleh satu hati lainnya itu? Berganti untuk menanti? Menanti yang pergi? Menanti yang belum tentu kembali? Berjuang memang tak sebercanda itu. Berjuang memang tak seperti dua garis yang sejajar, selalu bersama meski tak mungkin berakhiran sama.

Aku pasti berjuang, namun entah sampai kapan. Aku pun akan mengejar meski tak secepat kilat.

Pernahkah kalian berjuang? Memperjuangkan perasa yang ada didalam hati?
Pernahkah kalian mengejar? Mengejar yang entah akankah kembali?
Hati tak melulu soal cinta. Tapi cinta pastilah melibatkan hati.





-DNS-

Luka

Kau tahu, apa yang kini sedang ku rasakan? Kau tau, apa yang kini sedang mengusik pikiranku. Kamu. Yang ku pikir sebagai orang keduaku. Tapi ternyata bukan. Kau tahu, mengapa harus ada rasa itu? Tidak, tidak seorangpun tahu mengapa suatu perasa bisa tumbuh. Tidak seorangpun mampu benar-benar mengontrol perasa itu. Termasuk aku. 

Yang perlu ku tahu lagi, aku takkan dapat dengan mudah memilikimu. Atau, tanpa deklarasi kepemilikan aku akan tetap bisa bersamamu. Ralat. Berada didekatmu. Mungkin saja bisa. Ya bisa jika aku mau berjuang. Berjuang seorang diri? Ya. Sanggupkah? Aku tak tau.

Mungkinkah seiring berjalannya waktu, ada pintu untukku? Ada celah untuk aku masuk secara nyata dalam kehidupanmu? Menebaknya akupun tak bisa. Apalagi benar mendapat kesempatan itu.

Jangan salahkan aku mengapa aku merangkai kata seperti ini. Hatiku pikiranku kini semua tertuju padamu. Tertuju pada perasa yang lama tak tersampaikan. Tertuju pada perasa yang sempat terabaiakan. Dan kini ku tau aku terlambat untuk memahaminya. Terlambat untuk mengerti.

Entah, masihkah ada kesempatan atau tidak. Cukup aku yang harus tahu diri. Cukup aku yang kini berganti merasakan yang disebut sebuah penantian. Penantian yang entah sampai kapan.


Aku enggan terpuruk oleh keadaan ini. Tetapi akupun tak tahu bagaimana caraku menghindari keterpurukan ini. Aku. Kamu. Akankah menjadi kita? 


-DNS-

Antara

Saat kau tak benar-benar berada di suatu keadaan yang kau harapkan.
Saat kau tak benar-benar berada di suatu perasaan yang sebenarnya.
Saat banyak hal menjadi abu-abu.

Antara ya atau tidak.
Antara melangkah maju, bertahan di satu titik, atau mundur teratur meninggalkan suatu yang tlah diatur.

Menjadi satu-satunya tak selalu diharapkan.
Menjadi satu-satunya tak selalu jadi menyenangkan.

Kau tahu?
Karena dunia ini tak nyata hanya satu.
Ada banyak keambiguan yang membuat tiap perasanya menjadi mengabu.

-DNS-


Jumat, 11 Desember 2015

Dia bukan aku

Aku tak tahu, seberapa lama aku tertidur. Aku tak tau mengapa tiba-tiba aku terbangun dan harus dihadapkan oleh kenyataan seperti ini. Sekarang, aku ada secara nyata. Namun, mengapa kau mencari-cari orang yang menyerupaiku. Kemudian menganggapnya adalah aku.

Kau tahu, bagaimana remuknya hati ini? Aku sendiri tak tahu mengapa aku masih sanggup melihatmu. Melihatmu ketika kau bersama dia yang kau anggap aku. Tak kau rasakankah getaran yang berbeda?  Saat tiba-tiba mataku dan matamu saling bertemu, ya bertemu seperti biasanya. Mata kita saling bertautan bahkan untuk sepersekian detik aku merasakan detak jantungku berhenti. Namun, tak lagi mata hitam indahmu yang kulihat, tetapi keberadaannya di sisimu.

Kau tahu bagaimana mirisnya hati ini. Kau lukai sebegitu pedihnya. Kau tinggalkan sebegitu kejamnya. Kau biarkanku terbayang dalam canda indah yang pernah kita lalui bersama. Maksutku, kau dan aku. Kini kau hanyalah seperti bintang pijar yang tak mampu ku gapai. Kini aku seperti orang bodoh  yang tak tahu kemana arah hidupku.

Aku hanya tak habis pikir saja denganmu. Sebegitu mudahkah kau melupakanku. Atau lebih tepatnya mengasingkanku dari hatimu. Aku tahu, aku masih ada dalam kehidupanmu dan kau pun begitu. Namun kini, kau tak selalu ada untukku. Tak seperti dulu.

Bukankah lebih indah kita saling memahami dari awal, bukan malah menjadikan pelarian? Sekali lagi dari sisi mana kau anggap dia sama denganku. Dari sudutpandang mana kau melihatku ada pada dirinya, padahal keberadaanku nyata untukmu.

Sungguh seharunya aku tak perlu tertidur untuk sekian waktu yang lalu. Sungguh seharusnya aku menyadari hadirmu. Bukan malah mengabaikanmu. Kini aku sendiri merasakan bagaimana sakitnya kehilangan dirimu.


Sungguh, aku nyata ada untukmu. Dan dia bukan aku. 


-DNS-